KATA
PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul: “WAWASAN
KEBANGSAAN SEBAGAI PEDOMAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL”
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan
tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk
itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, tim
penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan
rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia di kenal sebagai
masyarakat multikulturalisme. Istilah multikulturalisme sebenarnya belum lama
menjadi objek pembicaraan dalam berbagai kalangan, namun dengan cepat
berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan.
Dikatakan menarik karena memperdebatkan keragaman etnis dan budaya, serta
penerimaan kaum imigran di suatu negara, pada awalnya hanya dikenal dengan
istilah puralisme yang mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu
daerah atau negara. Baru pada sekitar pertengahan abad ke-20, mulai berkembang
istilah multikulturalisme. Istilah ini, setidaknya memiliki tiga unsur, yaitu:
budaya, keragaman budaya dan cara khusus untuk mengantisipasi keanekaragaman
budaya tersebut. Secara umum, masyarakat modern terdiri dari berbagai kelompok
manusia yang memiliki status budaya dan politik yang sama. Selanjutnya, demi
kesetaraan masa kini, pengakuan adanya pluralisme kultural menjadi suatu
tuntutan dari konsep keadilan sosial. Dengan demikian perlu di pahami lebih
mendalam bahwa wawasan kebangsaan bisa menjadi pedoman dalam masyarakat
multikulturalisme.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar
belakang diatas, dapat disusun rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa
pengertian multikulturalisme?
2. Bagaimana
multikulturalisme menurut Al Qur’an?
3. Apa
yang di maksud multikulturalisme menurut para tokoh?
4. Bagaimana
perjalanan masuknya multikulturalisme ke Indonesia?
5. Bagaimana
konsep multikulturalisme di Indonesia?
6. Masalah
apa saja yang timbul saat adanya multikulturalisme?
7. Upaya apa saja yang dihadapi di dalam
menyikapi sebuah multikulturalisme?
8. Bagaimana
mengenal kebudayaaan Yogyakarta?
9. Apa
perbedaan kebudayaan Jepang dengan kebudayaan yang ada di Indonesia?
10. Bagaimana
peranan norma dan hukum di Indonesia?
1.3 Tujuan
Penulis
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan tetapi juga untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada
pembaca mengenai pengertian multikulturalisme, multikulturalisme menurut islam,
multikulturalisme menurut para tokoh, perjalanan masuknya multikulturalisme ke
Indonesia, konsep multikulturalisme, mengenal kebudayaan Yogyakarta, perbedaan
kebudayaan Jepang dengan kebudayaan di Indonesia dan peranan norma dan hukum di
Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi
terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari
berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama
dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk
menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu
negara.
Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.
Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.
Konsep tentang mutikulturalisme,
sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak bebas nilai
(value free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk
diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal
dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan
dengan agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang menekankan tidak
terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan
orang-orang yang atheis (Harahap, 2008). Dalam konteks ini, multukulturalisme
dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang
dikembangkan secara nasional.
Kesadaran akan adanya keberagaman budaya
disebut sebagai kehidupan multikultural. Akan tetapi tentu, tidak cukup hanya
sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap kesadaran akan adanya
keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi secara
positif. pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme.
Mengutip S. Saptaatmaja dari buku
Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking Context, Process And
Content karya Hilda Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah bertujuan untuk
kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan
tidak monokultur lagi.
Lebih jauh, Pasurdi Suparlan memberikan
penekanan, bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun
kebudayaan. Yang menarik disini adalah penggunaan kata ideologi sebagai
penggambaran bahwa betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati perbedaan, dan
memandang setiap keberagaman sebagai suatu kewajaran serta sederajat.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi
dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk
dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa
bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus
dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama
tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling
mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan
dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum,
nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat,
sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti,
dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Selanjutnya Suparlan mengutip Fay
(1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan
bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya
masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan
mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual
maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat
(termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan
yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah
mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat
yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang
mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme
diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis
meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.
Multikultural berarti beraneka ragam
kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme
adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman
bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural
ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara
sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk,
karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas
berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi,
keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya
komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat
serta mutu produktivitas.
Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan
di atas mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai
suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan
pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme
ini maka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar
negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga
cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera
sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat
tercapai.
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya.
Adalah Samuel P. Huntuington (1993) yang “meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser.
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya.
Adalah Samuel P. Huntuington (1993) yang “meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser.
Ramalan Huntuington tersebut diperkuat
dengan alasannya mengapa di masa depan mendatang akan terjadi benturan
antarperadaban. Antara lain adalah:
Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar. Kedua, Dunia sekarang semakin menyempiti interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang ataumasyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, diasmping memperlemah negara-negara sebagi sumber identitas mereka. Keempat, timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu sisi barat berada di punjak kekuatan. Di sisi lain mungkin ini akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya fenomena asal , sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban Non-Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Dan, keenam regionalisme ekonomi semakin meningkat.
Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar. Kedua, Dunia sekarang semakin menyempiti interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang ataumasyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, diasmping memperlemah negara-negara sebagi sumber identitas mereka. Keempat, timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu sisi barat berada di punjak kekuatan. Di sisi lain mungkin ini akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya fenomena asal , sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban Non-Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Dan, keenam regionalisme ekonomi semakin meningkat.
Akan tetapi asumsi tersebut tidak mutlak
menjadi sebab utama terjadinya sebuah perpecahan. Misalnya, setelah berakhirnya
Perang Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke
dalam entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi perpecahan
menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal
ini jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis
justru disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi,
persoalan perpecahan antara Jerman Barat dan Jerman Timur yang kembali bersatu
karena persamaan suku dan kebudayaan. Dan “multikulturalisme justru menjadi
sebuah pemersatu yang kokoh.
2.1.1 Multikulturalisme Menurut Al Qur’an
2.1.1 Multikulturalisme Menurut Al Qur’an
Kita perlu kembali merenungkan berbagai
ajaran yang telah disampaikan Allah melalui para Rasul-Nya, yang terdapat dalam
kitab Suci Al Qur’an. Kita hendaknya mampu mengoptimalkan peran agama sebagai
faktor integrasi dan pemersatu. Al qur’an, misalnya, memuat banyak sekali ayat
yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara
sesama manusia. Dalam tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut;.
Pertama, Al Qur’an menyatakan bahwa;
dulu manusia adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan ) maka Allah
mengutus para Nabi, sebagi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan
Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberikan keputusan
diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. “Tidak berselisih
tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab,
yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena
dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang
beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan
kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki
kepada jalan yang lurus,” (QS Al Baqarah: 213)
Dengan ayat ini, AlQur’an menegaskan konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulamya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested interest nya.
Dengan ayat ini, AlQur’an menegaskan konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulamya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested interest nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah satu,
pola hidupnya menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah
menetapkan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda untuk berbagai golongan
manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisiahan dan
permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai
kebaikan. Al Qur’an menyebutkan :
“….. Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
“….. Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Sehingga dari kedua ayat diatas dapat
saya tarik kesimpulan bahwa; betapapun perbuatan yang terjadi pada manusia di
bumi ini, namun hakekat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan berubah. Yaitu
fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan
dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang
kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksisitensialisme dari perjanjian
primordial itu dalam hidup di dunia ini.
Selain itu, kita juga harus membutuhkan
sebuah artikulasi atau penjabaran suatu visi dari dalam yang baru tentang manusia.
Sekarang menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus mengambil bagian.
Sekurang-kurangnya untuk sebagian dari sebuah visi dari dalam, sebuah konsep
manusia mengenai dirinya sendiri, sesama, bahkan dengan orang yang menyatakan
dirinya tidak beragama. Dalam pencarian itu mungkin sangat penting bagi umat
beragama untuk melihat kepada pribadi-pribadi terkemuka yang dimilikinya dan
peninggalan kolektifnya di massa lampau.
2.1.2 Multikulturalisme menurut Para Tokoh
1)Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata merupakan kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu, akan tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama, tanpa adanya konflik.
Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.
2.1.2 Multikulturalisme menurut Para Tokoh
1)Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata merupakan kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu, akan tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama, tanpa adanya konflik.
Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.
2.) Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan politik di negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989, gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnnya.
Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati.
2.1.3 Perjalanan Menyambut Multikulturalisme di Indonesia
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah
muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru,
kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham
monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan
multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang
memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan
yang mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga
mempersoalkan masalah asli atau tidak asli.
Multikultur baru muncul pada tahun
1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya,
demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata
bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi
untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil
perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.
Inti dari cita-cita tersebut adalah
sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk
supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan
sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga
masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.
Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan
Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing
tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat” (plural society)
sehingga corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi
keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan
yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat
Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi
yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara
individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah
masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam
masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik
tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang
membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan
yang seperti sebuah mozaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya
telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam
mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang
terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa
(Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Hal yang harus kita waspadai adalah
munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri.
Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan
yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara.
Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk,
seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan
lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu
dengan yang lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku,
adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar
menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu
timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington,
keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak
kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham
sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Paham Sukuisme sempit inilah yang akan
membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon,
dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena perselisihan
diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang sengaja
menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang
utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras
agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul
persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para
pejuang kita.
Hal ini disadari betul oleh para
founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini
dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang
luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit,
semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita.
Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang
kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan
semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada
masa-masa pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para
penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada
tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan ini
yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam
menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal bakal munculnya
wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap dijunjung tinggi
pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam
sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai
pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun
politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat
dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.
Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan
mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya
perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu
mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural,
multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka.
Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang
pluralistik.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan
tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya.
Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara
pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi
sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan
menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.
2.1.4 Konsep Multikulturalisme di Indonesia
2.1.4 Konsep Multikulturalisme di Indonesia
Walaupun multikulturalisme itu telah
digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa
Indonesia. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri
masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau
juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik
dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM,
hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral,
dan tingkat serta mutu produktivitas.
Dalam upaya membangun masa depan bangsa,
paham multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebagai sebuah
ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi
tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari
ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme membutuhkan seperangkat
konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi
memahaminya dan mengembangkannya dalam kehidupan bermasya-rakat. Untuk dapat
memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan
konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Sebagai sebuah ide atau ideologi
multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai
struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial,
kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan
lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan kajian-kajian mengenai corak
kegiatan, yaitu hubungan antar manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan
sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya
mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Salah satu isu yang cukup penting untuk
diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen pengelolaan
sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat,
atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada
kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian
pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti
apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut
atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji.
Kajian seperti ini juga akan dapat
menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam
struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan
(in-put) menjadi keluaran (out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam
setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman
etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang
aktual (yang betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya
disembunyikan dari pengamatan umum)?
Permasalahan etika ini menjadi sangat
penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai
organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Bangsa Indonesia
kaya raya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas. Akan
tetapi pada masa sekarang ini, bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang
paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang tingkat
korupsinya paling tinggi. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak
mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai.
Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu
yang dihasilkannya.
Cita-cita reformasi yang sekarang ini
tampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya, ada baiknya digulirkan
kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model
dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model
multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap
memasuki masyarakat multikultural Indonesia. Sebagai model, maka masyarakat
multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi
multikulturalisme atau Bhinneka Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi
corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat lokal dan nasional.
Bila pengguliran proses-proses reformasi
yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu
berhasil, maka tahap selanjutnya adalah mengisi struktur-struktur atau
pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat
Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut
mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam
nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakan
hukum bagi keadilan.
Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya
ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat
atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak
dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan
pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam
berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam
berbagai struktur kegiatan dan manajemen pemerintahan. Pedoman etika ini akan
membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.
Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut di
atas, sebaiknya sistem pendidikan nasional juga mengadopsi pendidikan
multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD
sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam
kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran
ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya
adalah menumbuhkan integrasi nasional melalui revitalisasi gagasan (mutualisme,
musyawarah dan mufakat, kesetaraan) dan nilai-nilai agama (kasih sayang, damai,
keadilan dan persatuan) dalam ruang lingkup pergaulan sesama anak bangsa.
Memang tidak mudah bagi bangsa yang pluralistik dan multikultural untuk menjaga
integrasi nasional, namun hal tersebut tetap dapat dilakukan.
Hal-hal yang harus kita lakukan adalah:
pertama, meningkatkan pemahaman tentang multikulturalisme Indonesia. Perlu
dilakukan penumbuhan rasa saling memiliki aset-aset nasional yang berasal dari
nilai-nilai adiluhung bangsa Indonesia, khususnya dari suku-suku bangsa,
sehingga mendorong terbentuknya shared property dan shared entitlement. Artinya
upaya membuat seseorang dari kawasan Barat Indonesia dapat menghargai,
menikmati dan merasakan sebagai milik sendiri berbagai unsur kebudayaan yang
terdapat di kawasan Timur Indonesia, dan demikian pula sebaliknya.
Kedua, setiap program pembangunan
hendaknya mengemban misi menciptakan dan menyeimbangkan mutualisme sebagai
wujud doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood)
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian strategi dan kebijakan
pembangunan, khususnya strategi dan kebijakan budaya, harus bertolak dan
berorientasi pada upaya memperkokoh persatuan Indonesia melalui upaya
menumbuhkan mutualisme antar komponen bangsa dan di tingkat grass-roots.
Dalam asas kebersamaan berdasarkan asas
kekeluargaan (mutualism and brotherhood atau ukhuwah) yang sekaligus dapat
menumbuhkan modal sosial, kerjasama di bidang pembangunan ekonomi dapat
melibatkan berbagai lokalitas di tingkat kabupaten/kota, kecamatan ataupun
desa, dengan dirancangnya upaya membentuk dan mengembang-kan mutualisme untuk
memperkokoh integrasi dan kohesi nasional. Dengan demikian akan terwujud
pembangunan ekonomi dan sekaligus interdependensi sosial. Pola interdependensi,
yang sekaligus merupakan ketahanan budaya, harus dirancang oleh lembaga
perencanaan di tingkat nasional dan tingkat daerah sebagai bagian dari integritas
bangsa. Untuk memperkokoh kohesi nasional, perencanaan akan menjadi tujuan
strategis karena perencanaan mendesain masa depan.
Sebagai bangsa yang pluralistik, dalam
membangun masa depan bangsa dipandang perlu untuk memberi tempat bagi
berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama yang ada di
Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan
agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai
perilaku dan kegiatan masyarakat. Berbagai kebudayaan itu jalan beriringan,
saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan
mampu untuk saling menyesuaikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks itu pula maka ribuan suku
bangsa sebagai masyarakat yang multikultural yang terdapat di Indonesia serta
potensi-potensi budaya yang dimilikinya harus dilihat sebagai aset negara yang
dapat didayagunakan bagi pembangunan bangsa ke depan. Intinya adalah menekankan
pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat
multikultural yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan
dirinya.
Hal ini juga berarti bahwa masyarakat
multikultural harus memperoleh kesempatan yang baik untuk menjaga dan
mengembangkan kearifan budaya lokal mereka ke arah kualitas dan pendayagunaan
yang lebih baik. Unsur-unsur budaya lokal yang bermanfaat bagi diri sendiri
bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat menjadi bagian dari
kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur kebudayaan nasional. Meskipun
demikian, misi utamanya adalah mentransformasikan kenyataan multikultural
sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa serta menjadikannya suatu sinergi
nasional.
Oleh karena itu, walaupun masyarakat
multikultural harus dihargai potensi dan haknya untuk mengembangkan diri
sebagai pendukung kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada
saat yang sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk mampu
melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-sama merupakan
warga negara Indonesia.
Dengan demikian, membangun dirinya,
membangun tanah leluhurnya, berarti juga membangun bangsa dan tanah air tanpa
merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan kebersamaan dan saling
bekerjasama.
2.1.5 Ketika Multikulturalisme Menjadi Sebuah Masalah
2.1.5 Ketika Multikulturalisme Menjadi Sebuah Masalah
Akhir-akhir ini, intensitas dan
ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat.
Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang
di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya
konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara. Konflik sosial
dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat
tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika
konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang
positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.
Perkembangan terakhir menunjukkan pada
kita, sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif
bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai
kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya. Konflik
sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera diatasi
secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional.
Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial
tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat
insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn
budaya dalam masyarakat yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga
menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum
terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan
doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan
di pihak lain.
Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu
bukan saja bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi
juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas
sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal
yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat
tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik
peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial
masyarakat setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok
masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream,
yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini
dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan
politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon, Poso, Aceh dan lainnya.
2.1.6 Upaya Bersama di Dalam Menyikapi Sebuah Multikulturalisme
Dengan menjalankan asas gerakkan
multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap mampu menyelesaikan
berbagai masalah yang berkaitan dengan Multikulturalisme. Yaitu dengan
asas-asas sebagai berikut:
a) Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai dan makan di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.
b) Keanekaragaman Budaya menunjukkan adanya visi dan sisitem makan tang berbeda, sehingga budaya satu memrlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaanlain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme.
c) Setiap kebudayaan secara Internal adalah majemuk, sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan demi terciptanya persatuan.
a) Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai dan makan di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.
b) Keanekaragaman Budaya menunjukkan adanya visi dan sisitem makan tang berbeda, sehingga budaya satu memrlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaanlain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme.
c) Setiap kebudayaan secara Internal adalah majemuk, sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan demi terciptanya persatuan.
Dalam masyarakat multikultural seperti
Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat
dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi
bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural
mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan
dan kepribadian.
Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan
pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif
membuat interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan tercapainya
konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan
syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif
membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang
memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu
berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan
mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.
Semangat kebersamaan dalam perbedaan
sebagaimana terpatri dalam wacana ”Bhineka Tunggal Ika” perlu menjadi “roh”
atau spirit penggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses
pengambilan ekputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan
bersama sebagai bangsa dan negara.
Jika tindakan komunikatif terlaksana
dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan
menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:
a) Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.
b) Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitemed) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
c) Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga.
a) Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.
b) Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitemed) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
c) Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga.
Dapat dikatakan bahwa secara
konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan
bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan
berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekwensinya ialah keharusan
melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif;
memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang
demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat
kerakyatan.
Dengan demikian kita melihat bahwa
semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal
Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu
didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu
akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan
itu menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan
bangsa dapat dihindari.
2.2Kebudayaan Yogyakarta
1. Grebeg Syawal 1941 Jimawal
Kraton Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat menggelar tradisi Grebeg Syawal (jawa: Sawal), Kamis (02/10/2008),
dalam Kalender Jawa bertepatan dengan tanggal 1 Sawal tahun 1941 Jimawal.
Rangkaian upacara dimulai dari Pagelaran Kraton dan diakhiri dengan rayahan
gunungan di halaman Masjid Gede Kauman. Upacara tradisional yang digelar setiap
tahun ini merupakan dimaknai sebagai sedekah Sultan kepada rakyatnya.
2. Nyadran Makam Sewu
2. Nyadran Makam Sewu
Nyadran merupakan tradisi melakukan
ziarah kubur ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan (Jawa: Pasa). Di Makam
Sewu Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, setiap tahunnya digelar tradisi
Nyadran yang dikemas dengan ritual budaya menarik. Dilaksanakan setelah tanggal
20 bulan Ruwah dalam kalender jawa. Ritual ini digelar untuk menghormati
Panembahan Bodo, seorang tokoh penyebar.
3. Tradisi Labuhan Alit di Parangkusumo
3. Tradisi Labuhan Alit di Parangkusumo
Kraton Yogyakarta menggelar tradisi
Labuhan Alit di Pantai Parangkusumo, Minggu (03/08/2008). Tradisi ini
diselenggarakan dalam rangka peringatan Jumenengan Ndalem (penobatan) Sri
Sultan Hamengku Buwono X setiap tanggal 30 bulan Rejeb dalam penanggalan Jawa.
Barang-barang tinggalan dalem (milik sultan), baju, kain, serta potongan rambut
dan kuku sultan dilarung ke laut sebagai persembahan bagi penguasa laut
selatan.
4. Grebeg Selarong, Tradisi Budaya Mengenang Perjuangan Diponegoro
4. Grebeg Selarong, Tradisi Budaya Mengenang Perjuangan Diponegoro
Grebeg Selarong sebuah tradisi budaya
digelar di pelataran Goa Selarong yang terletak di Desa Guwosari, Pajangan,
Bantul. Minggu (27/07/2008) lalu, masyarakat sekitar selarong untuk keempat
kalinya menggelar tradisi ini. Warga berpakaian tradisional Jawa memadati
pelataran goa bersejarah tersebut. Grebeg Selarong kali ini diselenggarakan
secara sederhana. Tanpa prosesi kirab, hanya membawa sebuah gunungan berukuran
kecil berhias hasil.
2.3 Perbandingan
Kebudayaan Jepang dengan Indonesia
Budaya adalah kristalisasi nilai dan
pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap komunitas tumbuh dan
berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu. Perbandingan
budaya Jepang dan Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan
antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan
perbedaan kedua budaya itu, kita akan semakin dapat memahami keanekaragaman
pola hidup yang ada, yang akan bermanfaat saat berkomunikasi dan berinteraksi
dengan pihak yang berasal dari budaya yang berbeda.
Kesulitan utama dalam membuat
perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang disebabkan perbedaan
karakteristik kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen, dan hanya
memiliki sekitar 15 bahasa (tidak berarti 15 suku bangsa, karena termasuk
didalamnya sign language untuk tuna rungu), dan telah memiliki sejarah yang
jauh lebih panjang, sehingga nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun
bangsa Indonesia berciri heterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700
bahasa, sehingga tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili
Indonesia secara nasional. Perlu dipisahkan nilai-nilai mana yang diterima
secara nasional di Indonesia, dan mana yang merupakan karakter unik salah satu
suku yang ada.
2.3.1 Tradisi penamaan di Jepang
Nama di Jepang terdiri dari dua bagian :
family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan
(kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua
orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian
nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era
sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Dewasa ini
ada sekitar 100 ribu nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling
populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan
berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga
wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Tradisi di Jepang
dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah
stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.
2.3.2
Tradisi penamaan di Indonesia
Adapun masyarakat di Indonesia tidak
semua suku memiliki tradisi nama keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak
memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi memiliki
nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku mana dia
berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap suku di
Indonesia
• Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
• Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
• Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
• Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.
• Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
• Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
• Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
• Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.
Selain nama yang berasal dari tradisi
suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam :
Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai nama
baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dan sebagainya.
2.3.3 Perbandingan kedua tradisi
a.) Persamaan antara kedua tradisi
Baik
di Jepang maupun di Indonesia dalam memilih nama (first name) sering memilih
kata yang mensimbolkan makna baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan
hidupnya. Khusus di Jepang, banyaknya stroke kanji yang dipakai juga merupakan
salah satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak.
b.) Perbedaan antara kedua tradisi sebagai berikut :
salah satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak.
b.) Perbedaan antara kedua tradisi sebagai berikut :
1. Di
Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di
2. Indonesia
nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor pemerintahan
2. Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita tidak berganti nama keluarga. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri. Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.
2. Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita tidak berganti nama keluarga. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri. Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.
3. Huruf Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun
nama anak di Jepang dibatasi oleh pemerintah (sekitar 2232 huruf, yang disebut
jinmeiyo kanji), sedangkan di Indonesia tidak ada pembatasan resmi untuk
memilih kata yang dipakai sebagai nama anak.
4. Pemakaian gesture/gerak tubuh untuk memberikan
penghormatan dan kasih sayang
Salah satu topik menarik untuk dibahas adalah bagaimana memakai bahasa tubuh untuk mengungkapkan penghormatan. Jepang dan Indonesia memiliki cara berlainan dalam mengekspresikan terima kasih, permintaan maaf, dan sebagainya.
a.) Ojigi
Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya saat mengucapkan terima kasih, permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua jenis ojigi : ritsurei (立礼) dan zarei (座礼). Ritsurei adalah ojigi yang dilakukan sambil berdiri. Saat melakukan ojigi, untuk pria biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan, sedangkan wanita biasanya menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigi yang dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigi dibagi menjadi 3 : saikeirei (最敬礼), keirei (敬礼), eshaku (会釈). Semakin lama dan semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas perasaan yang ingin disampaikan. Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan sekitar 45 derajat atau lebih. Keirei sekitar 30-45 derajat, sedangkan eshaku sekitar 15-30 derajat. Saikeirei sangat jarang dilakukan dalam keseharian, karena dipakai saat mengungkapkan rasa maaf yang sangat mendalam atau untuk melakukan sembahyang. Untuk lebih menyangatkan, ojigi dilakukan berulang kali. Misalnya saat ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat mendalam. Adapun dalam budaya Indonesia, tidak dikenal ojigi.
Salah satu topik menarik untuk dibahas adalah bagaimana memakai bahasa tubuh untuk mengungkapkan penghormatan. Jepang dan Indonesia memiliki cara berlainan dalam mengekspresikan terima kasih, permintaan maaf, dan sebagainya.
a.) Ojigi
Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya saat mengucapkan terima kasih, permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua jenis ojigi : ritsurei (立礼) dan zarei (座礼). Ritsurei adalah ojigi yang dilakukan sambil berdiri. Saat melakukan ojigi, untuk pria biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan, sedangkan wanita biasanya menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigi yang dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigi dibagi menjadi 3 : saikeirei (最敬礼), keirei (敬礼), eshaku (会釈). Semakin lama dan semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas perasaan yang ingin disampaikan. Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan sekitar 45 derajat atau lebih. Keirei sekitar 30-45 derajat, sedangkan eshaku sekitar 15-30 derajat. Saikeirei sangat jarang dilakukan dalam keseharian, karena dipakai saat mengungkapkan rasa maaf yang sangat mendalam atau untuk melakukan sembahyang. Untuk lebih menyangatkan, ojigi dilakukan berulang kali. Misalnya saat ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat mendalam. Adapun dalam budaya Indonesia, tidak dikenal ojigi.
b.) Jabat tangan
Tradisi jabat tangan dilakukan baik di Indonesia maupun di Jepang melambangkan keramahtamahan dan kehangatan. Tetapi di Indonesia kadang jabat tangan ini dilakukan dengan merangkapkan kedua tangan. Jika dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis kelamin, ada kalanya tangan mereka tidak bersentuhan. Letak tangan setelah jabat tangan dilakukan, pun berbeda-beda. Ada sebagian orang yang kemudian meletakkan tangan di dada, ada juga yang diletakkan di dahi, sebagai ungkapan bahwa hal tersebut tidak semata lahiriah, tapi juga dari batin.
c.) Cium
tangan
Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya. Tidak jelas darimana tradisi ini berasal. Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya Arab. Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga yang dilakukan dari seorang umat kepada pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang tidak dikenal budaya cium tangan.
Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya. Tidak jelas darimana tradisi ini berasal. Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya Arab. Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga yang dilakukan dari seorang umat kepada pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang tidak dikenal budaya cium tangan.
d.) Cium pipi
Cium pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua orang sahabat atau saudara bertemu, atau sebagai ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Tradisi ini tidak ditemukan di Jepang.
e.) Sungkem
Tradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan, atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang tua, dan meminta doa restunya.
Baik budaya Jepang maupun Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam mengekspresikan rasa hormat, rasa maaf. Jabat tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang maupun Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.
2.4 Norma Sosial dan Norma Hukum
Secara umum pengertian norma adalah segala aturan-aturan atau pola-pola
tindakan, yang normatif, yang menjadi pedoman hidup bagi orang yang bersikap
tindak di dalam kehidupannya, baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam
pergaulan hidup bersama. Norma-norma tersebut diyakini oleh masyarakat yang
bersangkutan sebagai milik bersama.
Beraneka ragamnya norma yang hidup di masyarakat dikarenakan
norma-norma tersebut sudah mengacu pada peranan-peranan manusia dalam
kedudukannya di masyarakat. Selain itu apabila dilihat dari sudut daya paksa
atau sanksi untuk kepatuhan terhadap suatu norma terdapat perbedaan-perbedaan
pula. Ada norma yang lemah atau tidak keras dengan sanksinya, atau dikatakan
sebagai sanksi sosial saja. Sebaliknya ada pula yang mempunyai sanksi kuat yang
dinamakan sebagai sanksi hukum, sehingga norma tersebut dinamakan sebagai norma
hukum.
1. Norma Hukum dan Norma Sosial Lainnya
Norma-norma yang ada dalam masyarakat bermacam-macam, atau disebut juga sebagai kaidah atau norma sosial. Macam kaidah atau norma tersebut tergantung dari dua macam aspek hidup manusia yaitu:
a.) aspek hidup pribadi, meliputi:
Ø Kaidah-kaidah atau norma-norma kepercayaan, untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan beriman.
Ø Kaidah-kaidah kesusilaan (sittlichkeit atau moral/etika dalam arti sempit) yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak (kehidupan dengan geweten).
b.) aspek hidup antar pribadi, meliputi:
Ø Kaidah-kaidah atau norma-norma sopan santun yang bertujuan agar tercapai kenyamanan hidup bersama.
Ø Kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang bertujuan agar tercapai kedamaian hidup bersama.
1. Norma Hukum dan Norma Sosial Lainnya
Norma-norma yang ada dalam masyarakat bermacam-macam, atau disebut juga sebagai kaidah atau norma sosial. Macam kaidah atau norma tersebut tergantung dari dua macam aspek hidup manusia yaitu:
a.) aspek hidup pribadi, meliputi:
Ø Kaidah-kaidah atau norma-norma kepercayaan, untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan beriman.
Ø Kaidah-kaidah kesusilaan (sittlichkeit atau moral/etika dalam arti sempit) yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak (kehidupan dengan geweten).
b.) aspek hidup antar pribadi, meliputi:
Ø Kaidah-kaidah atau norma-norma sopan santun yang bertujuan agar tercapai kenyamanan hidup bersama.
Ø Kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang bertujuan agar tercapai kedamaian hidup bersama.
Mengingat dalam masyarakat ada beraneka norma yang dianut dan
diagungkan oleh warga masyarakat yang bersangkutan sebagai pedoman berlaku, dan
tatanan sosial terwujud berkat pedoman-pedoman tersebut. Selain itu hukum
perundang-undangan tidak dapat mengatur semua segi kehidupan manusia. Sehingga
kehidupan manusia perlu dilengkapi oleh pedoman hidup yaitu norma-norma sosial
lainnya.
2. Proses Norma Sosial Menjadi Norma Hukum
Dalam konteks diri manusia sebagai makhluk sosial, maka tujuan hidup
bersama yang ingin dicapai adalah kedamaian dan keteraturan hidup antar
manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu patokan atau pedoman
yang mengatur bagaimana manusia dapat berperilaku pantas dan semestinya di
dalam masyarakat. Patokan atau pedoman berperilaku pantas tersebut adalah dalam
ukuran yang sesuai dengan masyarakat yang bersangkutan. Mengingat setiap manusia
tentu mempunyai ukuran pantas atau semestinya berbeda-beda dengan manusian
lainnya, sehingga sebagai makhluk sosial kehidupan sosialnyapun perlu diatur
oleh suatu pedoman, patokan atau standar yang disepakati bersama, yang disebut
dengan kaidah atau norma.
Proses bagaimana terjadinya kaidah atau norma itu dapat dijelaskan
berkaitan dengan manusia sebagai makhluk budaya. Sebagai makhluk budaya,
manusia diberikan kemampuan berpikir, ia diberi Tuhan akal untuk menjalani
kehidupannya. Perilaku yang ia lakukan setiap hari adalah hasil dari proses
belajar dari generasi sebelumnya dan juga lingkungan hidupnya. Pola hidup
dengan norma-norma yang ada sebagai pedoman hidup atau patokan hidup itu muncul
karena adanya suatu kebutuhan hidup manusia yang harus dipenuhi.
Dalam penerapan norma-norma yang telah disepakati bersama tersebut,
apabila terjadi pelanggaran atas suatu norma sosial maka akan ada sanksi
sosial, misalnya dikucilkan, dicemooh, dan lain-lain. Apabila suatu norma
sosial diberlakukan dengan paksaan suatu sanksi maka norma sosial tersebut
menjadi norma hukum. Menurut E. Adamson Hoebel, suatu norma sosial adalah hukum
apabila pelanggarannya atau tindakan tidak mengindahkannya secara teratur
ditindak, yaitu tindakan fisik, secara ancaman atau secara nyata, oleh
seseorang atau suatu kelompok orang, yang mempunyai wewenang bertindak secara
sosial diakui. (T.O. Ihromi, 1986: 5). Jadi perbedaan norma hukum dan norma
sosial adalah dalam norma hukum, hukum dapat menerapkan penggunaan kekuatan
yang ada pada masyarakat yang terorganisasi untuk menghindari atau menghukum
pelanggaran terhadap norma sosial.
Sebagai negara hukum, maka penyelenggaraan organisasi negara yang
berkaitan dengan pemerintahan maupun seluruh rakyatnya diatur oleh hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis. Hukum yang tertulis yang dibuat oleh lembaga
legislatif atas usulan Pemerintah, mempunyai kedudukan yang penting dalam
pengaturan penyelenggaraan negara. Di sisi lain norma-norma sosial lainnya atau
norma-norma bukan hukum tidak dapat diabaikan peranannya dalam usaha mewujudkan
kenyamanan, kedamaian dan ketertiban hidup manusia dalam suatu masyarakat.
3. Pengertian, Tujuan dan Fungsi Hukum
Hukum mempunyai pengertian yang beraneka, dari segi macam, aspek dan
ruang lingkup yang luas sekali cakupannya. Kebanyakan para ahli hukum
mengatakan tidak mungkin membuat suatu definisi tentang apa sebenarnya hukum
itu. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn yang
mengatakan bahwa hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak
mungkin menyatakannya dalam satu rumusan yang memuaskan. (apeldoorn, 1982: 13).
Oleh sebab itu menurut Purnadi Purbacaraka, pengertian hukum antaralain dapat
dilihat dari cara-cara merealisasikan hukum tersebut dan bagaimana pengertian
masyarakat terhadap hukum, yang antara lain adala sebagai berikut:
1.) Hukum sebagai ilmu pengetahuan,
2.) Hukum sebagai disiplin,
3.) Hukum sebagai kaidah,
4.) Hukum sebagai tata hukum,
5.) Hukum sebagai petugas (hukum),
6.) Hukum sebagai keputusan penguasa,
7.) Hukum sebagai proses pemerintahan,
8.) Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur,
9.) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai. (Purbacaraka, 1982: 12)
1.) Hukum sebagai ilmu pengetahuan,
2.) Hukum sebagai disiplin,
3.) Hukum sebagai kaidah,
4.) Hukum sebagai tata hukum,
5.) Hukum sebagai petugas (hukum),
6.) Hukum sebagai keputusan penguasa,
7.) Hukum sebagai proses pemerintahan,
8.) Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur,
9.) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai. (Purbacaraka, 1982: 12)
Sebagai
bagian dari kebudayaan, dan manusia atau masyarakat adalah pendukung dari kebudayaan
tersebut, maka hukum selalu ada dimana masyarakat itu berada (ubi societas ibi
ius). Keberadaan hukum tersebut, baik pada masyarakat yang modern atau
masyarakat primitif atau yang masih sederhana menunjukkan bahwa hukum mempunyai
kedudukan yang sangat penting.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi
terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari
berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama
dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk
menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu
negara.
Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.
Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.
Multikulturalisme juga berkaitan dengan
kebudayaan misalkan kebudayaan yang ada di Yogyakarta ada Grebeg Syawal 1941
Jimawal, Nyadran Makam Sewu dan lain-lain. Selain itu juga berkaitan dengan
tradisi di Jepang dengan di ndonesia serta norma sosial dan norma hukum yang
ada di Indonesia.
3.2 Saran
Wawasan
nusantara yang berpedoman sebagai masyarakat yang multikulturalisme seharusnnya
menjadi motivasi bagi masyarakat khususnya masyarakat Indonesia.Kita sebagai masyarakat
Indonesia harus melaksanakan bukan malah meninggalkan tradisi serta aturan dan
hukum yang berlaku di Indonesia. Dan seharusnya kita bangga terhadap bangsa
kita dengan adanya tradisi di setiap daerah masing-masing. Oleh karena itu
pertahankanlah tradisi-tradisi yang masih ada di daerah kita.
0 komentar:
Posting Komentar